Righteous Kill
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...
Quisque sed felis
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...
Etiam augue pede, molestie eget.
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...
A. Pendahuluan
Dalam dunia ini, manusia tak jarang
mendapatkan hal yang tidak diinginkan dan menyakitkan. Berbagai probematika
menghadang dalam diri setiap individu yang menghirup udara di atas bumi ini.
Kadang permasalahan itu bukan hanya muncul dari dirinya sendiri, tetapi kadang
juga muncul dari alam yang menaunginya. Banjir, gunung meletus, gempa bumi
merupakan beberapa diantaranya. Semuanya berkombinasi sebagai hiasan dunia,
sebab manusia hidup di dunia ini pada hakikatnya adalah untuk menghadapi
permasalahan-permasalahan tesebut.
Dalam agama Budha, Sidharta Gautama
dianggap sebagai manusia yang paling memiliki hikmat dan kebijaksanaan. Sebagai
founder dari agama Budha tentunya ia menjadi panutan bagi umatnya.
Namun, apabila kita mendalami ajarannya, maka akan kita temukan konsep
penderitaan yang ia eksplorkan. Kebenaran-kebenaran-kebenaran tentang
penderitaan tersebut terangkum dalam empat kebajikan kebenaran (four noble
truth).
Dalam Islam sendiri konsep semacam itu
banyak dibahas dalam salah satu cabang ilmu besar Islam, yakni mistisisme Islam
(tasawuf). Didalamnya sufi (pelaku tasawuf)
mengidentikkan dirinya dengan penekanan hawa nafsu di dunia ini. Hal ini
identik dengan penderitaan di dunia. Mereka menganggap dunia hanyalah sebuah
fatamorgana yang hanya menjadi tempat berteduh sementara. Hidup mereka hanya
digunakan untuk Allah dan perilaku mereka penuh dengan kearifan, sehingga al-Suyuthi
berkata “Seorang sufi adalah seseorang yang terus-menerus melakukan penyucian
dalam berhubungan dengan Allah dan berbuat baik terhadap makhluk”.
Maka dalam tulisan ini akan sedikit
dibicarakan mengenai konsep penderitaan Budha, serta analisis Tasawuf sebagai
penjabaran salah satu trilogi agama, yakni ihsan dalam memaknainya.
Tentunya pembahasan yang dipakai tidak menggunakan pendekatan perbedaan
teologis, tetapi memakai aspek spiritualitas masing-masing. Pembahasan pertama
mengenai historisitas Budha untuk mengetahui jalan pikirannya. Kemudian
dilanjutkan pemaparan konsep penderitaan yang dia ajarkan. Ketiga, konsep
tersebut akan dianalis dengan perspektif tasawuf.
B. Perjalanan Hidup Sidharta Gautama.
Sidharta Gautama (hidup 560 S.M. s/d. 480 S.M.) merupakan seorang pangeran
kerajaan, yang dibesarkan di dalam istana yang mewah di perbatasan Nepal. Dia
adalah putra Raja Magandha bernama Suddodhana. Dalam kehidupannya di istana,
Sidharta mempunyai istri yang bernama Gopa dan anak laki-laki yang mempunyai
nama Rahula. Mereka hidup dalam kenikmatan istana yang serba mewah.
Akan tetapi setelah itu, hatinya justru terpaut dengan realitas di luar. Ia
menengok ke luar dari dirinya sendiri dan menemukan orang-orang yang menderita
dan menemukan realita-realita penderitaan dalam berbagai bentuk. Tentunya hal
tersebut membuatnya berempati, bersimpati dan kemudian mengambil aksi. Orang
miskin yang terkapar di jalan, yang hari demi hari menjangkau kebutuhan hidup
yang tak terjangkau, orang yang tertimpa penyakit yang tak kunjung sembuh, dan
akhirnya orang-orang yang menangis meratapi kematian saudara mereka menghiasi
pandangan Sidharta. Sementara orang kaya pun juga mengalami hal demikian, rasa
tak puas, was-was, dan gelisah, kecewa dan murung karena dihantui berbagai
macam penyakit setiap waktu dapat membawa ke liang lahat. Itulah sebagian
penderitaan orang kaya.
Semuanya menyeruak di pikiran Sidharta dan menjadi
polemik di dalamnya.
Pangeran yang berumur 29 tahun itu akhirnya merenung. Ia sadar bahwa semua
penderitaan adalah jalan bagi semua orang. Namun, bagaimanakah cara untuk
melepaskan dari fakta ini. Ia masuk ke dalam pencarian akan kebenaran, suatu
kebenaran yang bersifat filosofis sekaligus praktis. Sidharta muda lalu
memutuskan untuk meninggalkan kerajaan dan ingin belajar akan kebenaran. Ryuho
Okawa menyebutkan tiga alasan kuat mengapa Budha menyingkir dari kehidupan
duniawi, yakni :
a. Adanya
suara bathin yang mendorong untuk melakukannya.
b. Untuk
mencari jawaban yang dicari Budha : empat penderitaan, derita kelahiran, derita
masa lalu, derita sakit, dan derita kematian.
c. Adanya
keinginan yang kuat untuk sendiri dan larut dalam perenungan.
Dia pergi dengan tanpa membawa uang, dengan meninggalkan keluarga,
dia pergi dan belajar pada guru terkenal Alara dan Udakka, tetapi ia tidak
merasakan kepuasan pada pengajaran mereka. Masa selanjutnya dari
pengembaraannya dimulai dengan tindakan ekstrem (asketisme). Ia tinggal di
hutan belantara, tubuhnya kurus kering karena makanan yang terbatas. Namun,
pada akhirnya ia menyadari bahwa tindakan asketisme yang demikian adalah ilusi
belaka, tidak membawa pada realisasi diri.
Setelah tidak memperoleh hal yang diinginkan, Sidharta kemudian duduk di bawah
pohon bodhi. Semalam suntuk ia merenungi nasibnya dan pagi harinya ia tersentak
seraya menemukan kebenaran. Di sana, ia menemukan apa yang dicita-citakan,
yakni ajaran tentang sebab akibat penderitaan (samsara) dan cara-cara
mendapatkan kelepasan yang tersimpan dalam empat pokok pandangan filosofis
(empat kebajikan kebenaran/kesunyaataan mulia). Maka setelah itu, dia mendapat
julukan Budha atau orang yang mendapat penerangan.
Pada waktu itu, umurnya menginjak 35 tahun. Sisa umurnya yang 45 tahun
dipergunakan berkelana di sepanjang India utara. Ia menyebarkan paham
filosofinya pada banyak orang dan akhirnya pengaruhnya pun cepat meluas. Saat
ia wafat tahun 483 S.M. sudah ratusan ribu orang memeluk ajarannya. Kemudian
ajarannya ditransmisikan secara oral dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ajaran-ajarannya dipelihara oleh murid-muridnya secara turun-temurun sampai
kemudian ditulis dalam kitab-kitab yang memuat ajaran tersebut pada tahun 80
S.M. Kitab-kitab yang memuat ajaran Budha itu disebut Tripitaka yang
artinya “tiga keranjang” atau “tiga kelompok”. Kitab ini terdiri dari Vinaya
Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka.
C. Konsep Empat Kebajikan Kebenaran.
Dari pencerahan yang dialami Budha tersebut munculah empat dasar kebenaran
dalam agama Budha. Keempatnya bertemakan penderitaan. Penderitaan ini bisa
dikatakan sebagai orientasi dasar Budhisme masa dan di tempat manapun.
Adapun keempat ajaran tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penderitaan (Dukha).
Dukka adalah penderitaan itu sendiri. Hidup di dunia ini penuh dengan hal-hal
yang menyedihkan dan kesengsaraan, maka dapat disimpulkan bahwa hidup itu
menderita. Bagi Budha, hidup adalah menderita, Kelahiran adalah penderitaan,
umur tua adalah penderitaan, mati adalah penderitaan, disatukan dengan yang
tidak dikasihi adalah penderitaan, tidak mencapai yang diinginkan adalah
penderitaan. Sehingga secara singkat, kelima pelekatan pada dunia ini adalah
penderitaan.
Adapun dukha dalam konteks ajaran Budha itu mempunyai makna mendalam dan
luas yang diartikan sebagai rasa sakit, penderitaan, dan lawannya adalah
kebahagiaan atau sukha. Dukha mempunyai tiga pengertian, pertama adalah
penderitaan biasa (dukha-dukha). Kedua, dukha sebagai akibat dari
perubahan-perubahan (vippar madhuka). Suatu perasaan bahagia yang tidak
kekal, cepat, atau lambat berubah, dan perbuatan itu menimbulkan dukha.
Ketiga, dukha akibat ketergantungan lainnya (shankara dukha).\ \
Sedangkan mengenai kesenangan, sebenarnya Budha sendiri tidak menyangsikan
bahwa mungkin sekali manusia memperoleh kesenangan dalam hidup ini, dan
kesennagan itu dapat dinikmati. Namun, ada dua masalah. Pertama, seberapa
jauhkah hidup itu dapat dinikmati. Kedua, pada tingkat manakah kenikamatan itu
timbul jika memang ia ada dalam diri kita. Sang Budha berpendapat bahwa tingkat
kenikmatan itu bersifat supersifisial yang mungkin memadai untuk hewan, tetapi
bagi manusia kenikmatan itu akan membawa suatu kekosongan besar, kehampaan, dan
rasa putus asa. Atas dasar itu, kesenangan dianggap sebagai kepedihan yang
pulas.\
Dengan demikian, kesenangan pada dasarnya adalah sebuah penderitaan pula.
Budha mengutip enam peristiwa hidup dimana keterplesetan hidup ini sangat nyata
secara menyedihkan. Baik kaya maupun miskin, orang biasa maupun orang berbakat,
semuanya mengalami keadaan ini :
a. Pengalaman
menyedihkan (trauma) di waktu lahir. Hal ini meliputi rentetan perasaan sakit,
keluar, dan kaget.
b. Patologi
penyakit.
c. Kemurungan
yang timbul kerana menjadi tua.
d. Ketakutan
akan mati.
e. Terikat
pada sesuatu yang ingin kita hindari.
f. Terpisah
dari seseorang yang kita cintai.\
2. Penyebab penderitaan (Samudaya).
Budha mensinyalir bahwa “kehausan atau keinginan” (tanha) merupakan
sumber segala penderitaan dan kepedihan hidup. Dia adalah sumber nafsu
yang tidak dapat menimbulkan rasa puas manusia selama hidupnya.\
Keinginan atau kehausan pada hakikatnya disebabkan oleh ketidaktahuan
atau awidya. Ketidaktahuan ini adalah semacam ketidaktahuan yang kosmis,
ketidaktahuan yang menjadikan orang dikaburkan pandanganya. Ketidaktahuan ini
mengenai tabiat asasi alam semesta yang memiliki 3 ciri mencolok, yakni :
a. Bahwa
alam semesta penuh dengan penderitaan (dukha).
b. Bahwa
alam semesta adalah fana (anitya atau anicca).
c. Bahwa
tiada jiwa di dalam jiwa ini (anatman atau anatta). \
Keinginan merupakan hal yang tidak dapat dipuaskan secara tuntas. Keinginan ini
bisa dikategorisasikan menjadi tiga :
a. Keinginan
untuk mendapatkan kesenangan sensual atau inderawi, semisal keinginan untuk
memiliki benda.
b. Keinginan
untuk eksistensi dan menjadi sesuatu, misalnya ingin menjadi seseorang yang
berkarakteristik tertentu atau ingin hidup kekal.
c. Keinginan
untuk non eksistensi, yakni kadang kala kita ingin untuk mati, dan kalau bisa
memilih untuk tidak lahir di dunia ini.\
3. Pemadaman (nirodha).
Sebagai manusia, tentunya kita berusaha untuk memenuhi keinginan kita. Namun,
secara tidak langsung kita telah melekatkan diri pada penderitaan (dukha).
Cara untuk menangulanginya adalah dengan melepaskan atau memadamkan keinginan
tersebut dan membiarkannya berlalu.
Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan secara sempurna
yakni dengan pembuangan keinginan itu, dengan penyangkalan terhadapnya, dengan
pemisahannya dari dirinya, dan dengan tidak memberi tempat kepadanya.\Dengan kata
lain, penghapusan keinginan adalah penghapusan penderitaan, dan penghapusan
penderitaan adalah dengan nirwana, pemadaman api kerakusan, kebencian, dan
angan-angan.\
Nirwana sendiri secara literal berarti pemadaman atau pendinginan. Sesuatu yang
dipadamkan adalah keinginan, api nafsu, kebencian, dan sebagainya yang
ditiadakan. Dalam kitab-kitab Budhis disebutkan bahwa di dalam nirwana
segala samsara ditindas secara sempurna, segala skandha
dilarutkan, segala keinginan ditiadakan, demikian pula segala sebab, sehingga
seseorang di didalam nirwana mengalami keadaan yang sangat damai. Di lain
tempat dikatakan, bahwa nirwana adalah suatu kebahagiaan yang tanpa pengamatan,
tanpa perasaan dengan sadar. Di situ ketidaktenangan hidup berakhir, sehingga
ada kebahagiaan yang tentu. Juga disebutkan, bahwa nirwana adalah suatu kedaan
yang jauh lebih baik dari pada segala kebahagiaan dunia.\
4. Jalan mengakhiri Penderitaan (marga).
Cara menghilangkan keinginan itu ada delapan jalan kebenaran (disebut dengan Astavidha).
\
Sakyamuni Budha membentuk delapan poin tersebut untuk dapat memeriksa pikiran
dan tindakan manusia.\
Delapan hal itu adalah :
a. Pandangan
yang benar (right view).
Secara sederhana, pandangan yang benar adalah memandang dunia tanpa bias, bebas
dari segala prasangka, memandang dunia dengan kearifan spiritual. Adapun
menurut pengertian tradisional agama Budha, pandangan yang benar dimaknai
sebagai cara melihat sesuatu berdasarkan Empat Kebenaran Kebajikan (Kebenaran
Penderitaan, Kebenaran Sebab, Kebenaran Kehancuran, dan Kebenaran Jalan) serta
menganalisis sesuatu berdasarkan sebab dan akibat\.
b. Pikiran
yang benar (right intent).
Pikiran yang benar ini adalah dengan mengkaji diri apakah sudah berpikir
berdasarkan kebenaran Budha atau tidak. Sementara dalam ajaran tradisional
Budha, hal tersebut bermakna jalan penyelesaian terbaik dalam rangka
melanjutkan perjalanan menuju pencerahan dan selalu membuat keputusan-keputusan
yang tepat dalam kehidupan sehari-hari.
c. Perkataan
yang benar (right speech).
Perkataan yang benar dilakukan dalam berbagai macam bentuk, antara lain dengan
menahan diri untuk tidak berkata untuk menyakiti orang lain, tidak berkata
bohong, dan tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak berguna.
d. Tindakan
yang benar (right action).
Tindakan yang benar ditafsirkan sebagai cara bekerja yang benar, maka ada dua
titik penting yang harus diperhatikan. Pertama, melihat pekerjaan kita sudah
bertentangan dengan hati nurani atau tidak. Kedua, ketika melakukan pekerjaan
kita bisa menjalin harmonis dengan orang lain atau tidak. Sementara dalam
ajaran tradisional diartikan sebagai larangan melakukan tindak-tindak
kejahatan, seperti membunuh, mencuri, dan tidak menghormati orang yang lebih
tua.
e. Kehidupan
yang benar (right livelihood).
Menurut ajaran tradisional Budha, kehidupan yang benar adalah dengan tidak
melakukan tindak kejahatan atau memilih pekerjaan-pekerjaan yang berlawanan
dengan ajaran kebenaran Budha, seperti mengajarkan materialisme, doa atau
keyakinan yang menyimpang, dianggap sebagai tindakan yang akan merusak
kehidupan yang benar.
f. Usaha
yang benar (right effort).
Usaha yang benar memiliki makna bekerja keras berdasarkan jalan kebenaran
Budha. Ada dua titik yang harus kita gunakan untuk melatih refleksi diri
tentang jalan usaha yang benar ini. Pertama, memandang dunia ini sebagai tempat
latihan jiwa. Kedua, untuk mengetahui apakah tingkat spiritualitas kita
meningkat dan berkembang atau tidak.
g. Kesadaran
yang benar (right mindfulness).
Kesadaran yang benar berbeda dengan refleksi diri tentang jalan pikiran yang
benar (right thought), sebagai cara mengontrol apa yang kita pikirkan
dan memeriksa setiap pikiran-pikiran yang muncul dalam kepala. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa ia dianggap sebagai kontrol terhadap daya kehendak yang
diarahkan pada tujuan-tujuan tertentu.
h. Konsentrasi
yang benar (right concentration).
Konsentrasi yang benar merupakan puncak atau jalan terakhir dari delapan mulia,
caranya adalah dengan bermeditasi. Hal ini terkait dengan tujuan tertinggi
agama Budha karena agama pada dasarnya adalah disiplin konsentrasi spiritual.
Secara singkat, kedelapan jalan kebenaran itu terdiri dari tiga dimensi :
a. Kebijaksanaan
(prajna), dimensi ini terdiri dari Pandangan yang benar (right view)
dan Pikiran yang benar (right intent).
b. Moralitas
(sila), dimensi ini terdiri dari Perkataan yang benar (right speech),
Tindakan yang benar (right action), dan Kehidupan yang benar (right
livelihood).
c. Disiplin
mentalitas (samadhi), dimensi ini terdiri dari Usaha yang benar (right
effort), Kesadaran yang benar (right mindfulness), dan Konsentrasi
yang benar (right concentration).
D. Analisis Tasawuf dalam ajaran Empat Kebajikan
Kebenaran.
Walaupun empat kebaikan kebenaran sebenarnya dianggap sebagai
faham fiosofis Budha. Namun, menurut hemat penulis disamping memiliki sisi
filosofis, ajaran tersebut juga mempunyai sisi spiritualitas tak kalah besar.
Oleh sebab itu, tasawuf tentunya sangat representatif untuk melihat dan menerawang
empat ajaran Budha tersebut. Berikut analisis yang bisa dipaparkan
penulis dalam beberapa konsep Budha itu:
1. Konsep
Penderitaan (Dukha).
Budha menyimpulkan bahwa kehidupan merupakan suatu penderitaan. Semua yang
terkait dengan dunia, kelahiran, mati dan lain-lain adalah penderitaan. Dalam
pemikiran masyarakat umum, hal tersebut adalah sesuatu yang paradoks. Bagaimana
tidak, kehidupan merupakan sebuah kebahagiaan yang dimiliki manusia. Mungkin
inilah dasar perbedaan antara pemikiran Budha dengan manusia pada umumnya.
Dalam perjalanan spritualnya dalam mencari kebenaran, ia tidak menemukan
kebenaran yang dicarinya lewat asketisme. Dia tidak puas dengan cara-cara rahib
Hindu dalam menyikapi hidup. Oleh sebab itu, ia memilih jalan tengah (middle
way) antara asketisme, yang ia anggap tidak ada gunanya dan kesenangan
kehidupan dunia. Inilah yang menjadi penentu konsep empat kebajikan
kebenarannya, terutama konsep dukha ini.
Secara sufistik, -- menurut penulis-- Budha itu bisa dikategorikan sebagai sufi
yang moderat. Tidak menyikapi hidup dengan asketik secara total, tetapi juga
menggunakan keduniaan ala kadarnya. Ia tetap mengadakan kedekatan sosial pada
orang lain. Inilah contoh sufi yang sesuai dengan pemahaman agama.
Dalam konsep dukhanya, ia mencoba mendeskripsikan penderitaan yang ia
maksud bukanlah sebagai tindakan asketis total, tetapi lebih memandang dunia
sebagai cobaan dan deritanya harus dihadapi. Hal ini tentunya juga mempunyai
banyak persamaan dengan para pelaku tasawuf (sufi) dalam memandang hakikat
hidup. Mereka melihat kehidupan sebagai bentuk cobaan yang manusia harus bisa
menanggulanginya. Namun, pandangan terhadap kehidupan niscaya berbeda antara
sufi dan Budha
Sufi bukanlah orang yang menganggap dunia ini sebagai penderitaan. Dunia
ini adalah ciptaan Allah yang tidak pantas dianggap sebagai tempat penderitaan.
Ia hanyalah sebagai lintasan pendek untuk mencapai kebahagian akhirat.
Perbedaan tersebut menurut penulis bersumber dari ajaran Budha itu sendiri yang
hanya berkonstruksi filosofis, tanpa disertai akar teologis. Tentunya hal ini
berbeda dengan sufi yang memasukkan unsur-unsur teologis dalam penerapan
tasawuf mereka.
Para sufi niscaya memiliki perspektif berbeda dalam memandang dunia. Dengan
memakai kaca mata terbalik itulah metode mereka. Kelahiran umpama, dia bukan
hanya menjadi rahmat sebagaimana dipahami masyarakat awam, akan tetapi juga
menjadi cobaan. Apakah sang hamba masih bisa beribadah atau tidak pada Tuhan
setelah itu. Begitu pula kematian, bukan sebatas sebagai cobaan sebagaimana
dimengerti komunitas awam, tetapi juga sebagai rahmat karena setelah itu mereka
akan menghadap pada Tuhan yang dinanti-nantikannya.
2. Konsep
Penyebab penderitaan (Samudaya).
Dalam konsep ini, nampaknya Budha lebih menekankan agar manusia menyadari bahwa
keinginan atau hawa nafsu merupakan sebab dari penderitaan yang dialami
manusia. Dari itu Budha mengisyaratkan penekanan secara komprehensif
untuk meleburkan keinginan.
Dalam persektif sufi pada khususnya dan kalangan muslim pada umumnya keinginan
atau nafsu memang menjadi musuh utama. Ia niscaya menjadi musuh yang
mencelakakan dan harus diwaspadai. Nafsu menimbulkan petaka yang amat besar dan
sukar dihindari. Ulama menyebut dua macam sebab mengapa manusia harus waspada
pada hawa nafsu sebagaimana dikutip Al-Ghazali, yaitu:
a. Karena
hawa nafsu merupakan musuh dari dalam.
b. Karena
hawa nafsu adalah musuh yang disukai.
Sidharta pada hal ini menyebutnya sebagai penyebab penderitaan, sebab memang
pada dasarnya keinginan seseorang menimbulkan kerusakan. Hal ini juga nampaknya
diiyakan oleh banyak ahli tasawuf, sebab memang ittibā’ul hawā’ adalah
salah satu perbuatan tercela. Sehingga Ali bin Abi Thalib berkata “Sesungguhnya
sesuatu yang paling menakutkan adalah ittibā’ul hawā’ dan tūl
amal. Ittibā’ul hawā’ dapat mencegah dari perbuatan haq
dan tūl amal dapat melupakan akhirat, kecuali bila dunia dipindah di
belakang orang itu dan akhirat ditaruh didepan orang tersebut”
Tidak semua keinginan bisa menyerang manusia. Tergantung manusia tersebut bisa
menghadapinya atau tidak. Apakah nafsu itu menguasainya ataukah ia yang
menguasai nafsu. Dalam tasawuf terdapat tiga tingkatan jiwa (nafs) yang
dimiliki manusia, ketiga jiwa itu adalah :
a. Nafs
Ammārah, yakni suatu tingkatan rohani yang masih cenderung mengikuti
panggilan hawa nafsu. Ia masih bisa terpengaruh godaan syaitan. Nafsu inilah
yang dimiliki mayoritas orang.
b. Nafs
Lawwāmah, yakni suatu tingkatan rohani yang sudah lebih tinggi karena
kebiasan mawas diri, mengkoreksi kealpaan diri, meneliti diri sendiri, dan
memeriksa dengan cermat serta selalu membuat perhitungan timbal balik antara
kesalahan dirinya dibandingkan dengan amal salehnya. Ia merasa bersuka cita dan
menyesal dan menyesal dalam keburukannya dan sebaliknya merasa senang dan
tenang apabila ia berbuat kebaikan.
c. Nafs
Mutmainnah, yakni jiwa yang tenang tentram dalam kebaikan. Apabila
seseorang sudah demikian terlatih dengan tingkat kerohanian yang kedua di atas,
suka menegor diri sendiri apabila terpeleset dalam kemungkaran, akhirnya
dapatlah berkenalan mengerjakan kebaikan dan selalu terjauh dari keburukan
karena kewaspadaanya, maka boleh dikatakan dia telah mencapai tempat kerohanian
yang luhur.
Tak dapat dipungkiri bahwa konsep nafsu sebagai pembawa malapetaka memang tidak
ada perbedaan pada masing-masing. Baik dari Budha maupun sufi sama-sama
menyimpukan nafsu sebagai sumber penderitaan. Dalam hal ini, Sidharta memang
memiliki sisi spiritual ataupun filosofis yang cukup excellent dalam
menyikapinya. Pandangan tersebut terimplementasikan dalam salah satu ajarannya
ini.
3. Pemadaman
(nirodha).
Tahapan ini Budha sepertinya mendorong manusia agar menghentikan laju
penderitaan manusia dengan cara pemadaman hawa nafsunya tersebut. Baik dengan
pembuangan keinginan itu, dengan penyangkalan terhadapnya, dengan pemisahannya
dari dirinya, dan dengan tidak memberi tempat kepadanya.
Nampaknya metode Budha tersebut, yakni nirwana hampir mirip dengan cara sufi
menghilangkan nafsunya. Banyak kaum sufi mengekang hasratnya dari keduniaan dan
pemadaman nafsu. Salah satu sufi, Abu Ya’qub al-Susi mendefinisikan sufi
sebagai orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya
dan tidak mengikuti hawa nafsunya.
Dalam dunia sufi, berbagai macam cara dilakukan untuk meredam nafsu yang
menyeruak di badan. Ulama menyebutkan cara untuk menghilangkan nafsu ada tiga
macam sebagaimana dikutip al-Ghazali, yakni:
a. Mengekang
keinginan, sebab binatang binal akan lemah akan lemah bila dikurangi makannya.
b. Dibebani
dengan beribadah, sebab keledai pun jika ditambah bebannya dan dikurangi
makannya akan tunduk dan menurut.
c. Berdoa
dan memohon petolongan Allah.
Lepas dari tatanan teologis, metode al-Ghazali tersebut sebenarnya hampir sama
dengan cara Budha memadamkan keinginannya. Walaupun terdapat sedikit perbedaan
yang diakibatkan perbedaan teologi. Hal itu dapat dimaklumi, sebab Budhisme
memang pada dasarnya cuma sekedar faham fiosofis dan dianggap tidak merujuk
pada suatu agama. Namun, secara kerohanian mereka punya metode yang sama,
yakni mengekang dan membuang nafsu yang tidak ada manfaatnya tersebut.
Dalam organisasi sufisme, yakni thariqah sebenarnya sudah dilaksanakan
berbagai macam bentuk peleburan hawa nafsu serta memadamkan pikiran keduniaan.
Ada beberapa bentuk isi dan sistem thariqah yang harus dilakukan sālik
(orang yang suluk), yakni:
a. Dzikir,
yakni duduk tafakur di kamar gelap seorang diri dalam keadaan tidak boleh
kenyang. Dzikir dibagi menjadi tiga tingkat : Dzikir lisan, dzikir qalbu, dan
dzikir sirr (rahasia).
b. Beratib,
yakni mengucapkan dzikir “Lā ilāha illallāh” dengan gerak-gerak badan
tertentu.
c. Bemuzik,
membaca wirid-wirid, syair-syair dengan iringan rebana.
d. Menari,
dilakukan oleh ahli thariqat dalam tata cara khusus, berupa tarian dzikir.
e. Bernafas,
mengatur nafas seraya berdzikir. Berusaha memperlambat nafas, tetapi
memperbanyak dzikir.
f. Bersenam,
yakni mengucapkan tahlil sambil berdiri dan bergerak secara literatur sesuai
dengan yang ditentukan oleh masing-masing thariqah.
Sementara dalam paradigma sufisme lainnya terdapat istilah fanā’ dan baqā’
untuk peleburan nafsu. Fanā’ disebutkan sebagai hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih (kepentingan) dari segala
perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat
membedakan sesuatu dengan sadar, dan dia telah menghilangkan semua kepentingan
dalam ia berbuat sesuatu. Selanjutanya akan muncul sifat baqā’, yaitu
hilangnya segala sesuatu pada dirinya, dan menetapkan (mengekalkan) sesuatu
bagi Allah pada dirinya.
4. Jalan
mengakhiri Penderitaan (marga).
Dalam jenjang yang keempat ini Budha menyebutkan delapan tingkatan untuk
mengakhiri penderitaan. Dari kedelapan pembagian ini akan
diperoleh kebahagiaan.
Puncak dari kedelapan langkah itu adalah bermeditasi,
sehingga akan diperoleh ketentraman hati. Dalam hal ini, kita harus
mengakui Budha sebagai orang yang sangat bijak untuk mencetuskan konsep
pencerahannya ini. Apa yang diajarkan Budha pada murid-muridnya tersebut memang
sangat mengandung sisi spiritual maupun sosial yang baik. Sebuah pemahaman yang
tentunya bisa membangun jasmani maupun rohani manusia ke arah kebaikan.
Meditasi, sebagaimana yang dilakukan Budha tersebut tentunya juga dilakukan
oleh para ahli Tasawuf untuk mendekatkan diri pada rabbnya. Sehingga
dalam praktek sufi sering disebut sebagai proses uzlah, yakni pergi
meninggalkan keramaian duniawi ke tempat yang sepi dari hiruk-pikuk manusia.
Dari hal itu akan didapatkan kemajuan spiritual, ketenangan batin, serta
menghilangkan ketergantungan pada dunia. Hal tersebut kiranya pula yang menjadi
tujuan meditasi agama Budha.
Delapan ajaran Budha tersebut bisa dibilang kebanyakan sudah diaplikasikan oleh
para ahli tasawuf, sebab banyak dari hal itu sinergis dengan asas-asas dalam
tasawuf. Dari mulai pandangan yang benar sampai konsentrasi yang benar bertebar
benih-benih ketasawufan, sehingga memang delapan langkah itu sejalan dengan
inti ajaran tasawuf. Selain itu, delapan jalan itu juga mengandung sisi
filosofis dan sosial yang tak kalah baiknya.
Sementara dalam tasawuf sendiri sebenarnya ada konsep tentang
tingkatan-tingkatan untuk mencapai derajat tinggi di hadapan Allah, yakni maqāmāt.
Maqāmāt adalah jalan panjang yang harus ditempuh seorang sufi yang
berisi stasiun-stasiun. Selain itu, terdapat pula ahwāl sebagai keadaan
mental, seperti perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Ahwāl
berbeda dengan maqāmāt, ia bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi
diperdapat sebagai anugerah dan rahmat Tuhan. Ahwāl bersifat sementara,
datang dan pergi; datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya
mencari Tuhan.
Para ahli Tasawuf menyebutkan tingkatan-tingkatan maqāmāt secara
berbeda-beda. Abu Bakar Muhammad al-Kalabazi dalam bukunya al-Ta’āruf
li Madzhab ahl-Tasawwuf misalnya menyebutkan sebagai berikut :
a. Taubat.
b. Zuhud.
c. Sabar.
d. Kefakiran.
e. Kerendahan
hati.
f. Taqwa.
g. Tawakkal.
h. Ridlo.
i.
Cinta.
j.
Makrifat.
Sementara Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi dalam al-Lummā’
menyebutkan :
a. Tobat.
b. Wara’.
c. Zuhud.
d. Kefakiran.
e. Sabar.
f. Tawakal.
g. Ridlo.
Abu Hamid al-Ghazali mengatakan dalam Ihyā’ Ulumuddin
sebagai berikut
a. Tobat.
b. Sabar.
c. Kefakiran.
d. Zuhud.
e. Tawakkal.
f. Cinta.
g. Makrifat.
h. Kerelaan.
Adapun Ahwāl secara biasa adalah takut, rendah hati, patuh, ikhlas, rasa
berteman, gembira hati, dan syukur. Dari hal tersebut di atas, jalan yang
dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu
sulit, dan untuk pindah dari satu stasiun ke stasiun yang lain tentunya
menghendaki usaha yang berat dan waktu yang relatif lama. Hal itu juga kiranya
yang menimpa Budha untuk sampai pada tingkatan yang tertinggi asthavida.
E. PENUTUP
Pada dasarnya seluruh agama mengajarkan kebaikan, yang berbeda hanyalah
sistem teologi yang dimiliki. Antara satu dengan yang lain menyuruh setiap
umatnya melakukan kebaikan, baik secara vertikal maupun horizontal. Tak dapat
dipungkiri, munculnya agama dapat dikatakan sebagai “obat” atas “penyakit”
moral yang dimiliki masing-masing umat.
Dalam ajaran Sidharta, rasa spiritualitasnya sebenarnya pantas diacungi jempol.
Ajarannya banyak menekankan penghapusan hawa nafsu serta dapat membangun sisi
rohani manusia. Pengajarannya bagi pemeluknya dianggap sebagai bentuk mutiara
hikmah yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Wallāhu a’lam bi al-Sawāb
Posting Komentar