sebiji kelapa kulit dan isi tiada serupa
Janganlah kita bersalah sapa
tetapi beza tiadalah berapa
sebiji kelapa
ibarat sama
Lafaznya empat suatu ma’ana
di situlah banyak orang
terlena
sebab pendapat kurang
sempurna
kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat
tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma’rifat
Abdurrauf begitulah nama yang dilekatkan kepada anak lelaki itu. Dalam pertumbuhannya kelak ia dikenal sebagai ulama. Dan orang-orang dengan hormat memanggilnya dengan sebutan Syeikh Abdurrauf. Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang dilengkapi dengan Syeikh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Oleh kharisma yang dimilikinya kemudian orang memberi sejumlah gelar seperti, Syeikh Kuala, Syeikh di Kuala atau Ciah Kuala dan Tengku Ciah Kuala. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Abdurrauf van Singkel. Sebutan ini semua ada sebabnya. Disebut Syeikh Kuala karena Syeh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wafatnya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh. Dan disebut Abdurrauf van Singkil karena Syeikh Abdurrauf lahir di Singkel 1593 M), Aceh Selatan.
Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf belajar pada ‘Dayah Simpang Kanan’ di pedalaman Singkel yang dipimpin Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di ‘Dayah Teungku Chik’ yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansuri.
Syeikh Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi Syeikh Shamsuddin as-Sumaterani. Dan setelah Syeikh Syamsuddin pindah ke Banda Aceh lalu diangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul Adil, Syeikh Abdurrauf mendapat kesempatan untuk pergi belajar ke negeri Arab. Selama belajar di luar negeri, 19 tahun Syeikh Abdurrauf telah menerima pelajaran dari 15 orang ulama.
Disebut pula Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan 15 orang sufi termashur. Tentang pertemuannya dengan para sufi, ia berkata, ‘Adapun segala sufi yang mashur wilayatnya yang bertemu dengan fakir ini dalam antara masa itu...’.
Pada tahun 1661 M Syeikh Abdurrauf kembali ke Aceh. Setelah tinggal beberapa waktu di Banda Aceh ia mengadakan perjalanan ke Singkel. Kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh Nuruddin ar-Raniri yang pergi menuju Mekkah.
Mengenai pendapatnya tentang faham orang lain nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin. Syeikh Abdurrauf tidak begitu keras. Hal ini dapat dilihat pada tulisan DR. T. Iskandar: “Walaupun Abdurrauf termasuk penganut fahaman tua mengenai ajarannya dalam ilmu tasawuf, tetapi -berbeda dengan Nuruddin ar-Raniri, ia tidak begitu kejam terhadap mereka yang menganut fahaman lain. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir.
Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, apakah gunanya mensia-siakan perkataan atasnya dan sekiranya ia bukan kafir, maka perkataan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri’.(‘Abdurrauf Singkel Tokoh Syatariah (Abad ke-17) (Dewan Bahasa, 95, Mei 1965).
Syeikh Abdurrauf menulis buku dalam bahasa Melayu dan Arab. Bukunya yang terkenal a.l., ‘Turjumanul Mustafiid’, ‘Miraatut Thullab’ (Kitab Ilmu Hukum), ‘Umdatul Muhtajin lla Suluki Maslakil Mufradin’ (Mengenai Ke Tuhanan dan Filsafat), ‘Bayan Tajalli’ (Ilmu Tasawuf), dan ‘Kifayat al-Muhtajin’(Ilmu tasawuf). Seluruh karyanya diulis dalam bentuk prosa. Hanya satu yang ditulis dalam bentuk puisi yakni, ‘Syair Ma’rifat’.
Sebagai penyair sufi Syeikh Abdurrauf mempelihatkan kepiawaiannya dalam menulis puisi ‘Syair Ma’rifat’ itulah. Salah satu naskah syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun 1859. Syair Ma’rifat mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat. Nampak dalam syair itu unsur ma’rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi. Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah. Ikuti petikan syairnya dibawah ini,
jikalau diibarat
sebiji kelapa
kulit dan isi tiada serupa
janganlah kita bersalah sapa
tetapi beza tiadalah berapa
sebiji kelapa
ibarat sama
lafaznya empat suatu ma’ana
di situlah banyak orang
terlena
sebab pendapat kurang
sempurna
kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat
tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma’rifat
(‘Syair Ma’rifat. Perpustakaan Universiti Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember l992)
Tingkat ma’rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang syariat, tarekat dan hakekat dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma’rifat menurut Syeikh Abdurrauf orang harus lebih dahulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas. Dalam kata-katanya sendiri Syeikh Abdurrauf berucap: “Dan sibukkanlah dirimu dalam ibadah dengan benar dan ikhlas demi melaksanakan hak Tuhanmu, niscaya engkau termasuk golongan ahli ma’rifat”.
Suasana mistik akan lebih terasa bila kita membaca dan mengikuti puisinya dalam baris-baris berikut ini. Petikan Syair Ma’rifat dari tulisan Arab berbahasa Melayu, bertulisan tangan ini dikutip dari ML. 378, halaman 40, terdapat di Perpustakaan Nasional RI. berbunyi sebagai berikut,
Airnya itu arak yang mabuk
siapa minum jadi tertunduk
airnya itu menjadi tuba
siapa minum menjadi gila
ombaknya itu amat gementam
baiklah bahtera sudahnya
karam
laut ini laut haqiqi
tiada bertengah tiada bertepi
Buku karya Syeikh Abdurrauf lainnya diberi judul ‘Kifayat al-Muhtajin’ disebut bahwa buku itu ditulisnya atas titah Tajul ‘Alam Safiatuddin, seorang Sultanah yang mengayomi ulama dan sastrawan. Kitab ini berisi ilmu tasawuf. Disebutkan sebelum alam semesta ini dijadikan Allah, hanya ada wujud Allah.
Ulama besar dan pujangga Islam Syeikh Abdurrauf meninggal l695 M dalam usia 105 tahun. Di makamkan di Kuala, sungai Aceh, Banda Aceh.
Posting Komentar