محمد اندرا أندارون

Your description goes here

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Popular Posts

Hello world!
Righteous Kill
Quisque sed felis

About Me

Popular Posts

Thumbnail Recent Post

Righteous Kill

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Quisque sed felis

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Etiam augue pede, molestie eget.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Hellgate is back

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit ...

Post with links

This is the web2feel wordpress theme demo site. You have come here from our home page. Explore the Theme preview and inorder to RETURN to the web2feel home page CLICK ...

Ditutup buku tebal itu. Matanya kelihatan lelah, sayu. Mulutnya menguap panjang. Ditengoknya jam tangan yang sempat dibeli beberapa bulan yang lalu. Pukul 10, ini berarti dia harus segera menyelesaikan tulisannya. Sebuah artikel tentang pendidikan, yang akan digunakan untuk terbitan majalah. Dia sudah dikejar-kejar sang pemimpin redaksi. Capai yang dirasakan tidak dihiraukan bahkan tidak pernah Riyan rasakan. Buku tadi memang telah menyita waktunya. Judul yang mencolok mata telah membuatnya tertarik untuk membaca. Fredrich Neitzche: Tuhan Telah Mati, begitu yang bisa terbaca dari sampul depan buku itu.

“Mataku sudah tak kuat rupanya,” racaunya pelan. Beranjak dari tempat duduk. Menuju ke meja komputer yang hanya berada tepat di belakangnya. Kamar yang berukuran sedang itu memang muat untuk menaruh sejumlah barang. Tetapi bukunya yang telah merampas ruang gerak. Dihela napas panjang-panjang dan mulailah tangan  yang ramping itu menari di atas keyboard. Begitu lancar dia mengeja kata demi kata. Sedang suara deru kipas angin terus mengiringi. Menemani setiap tekanan huruf yang dia lakukan. Sesekali terdiam, mencari diksi yang pas untuk menyambung kalimat. Hingga akhirnya tulisan itu  jadi. Dan jarum jam yang terpampang sudah berhimpit sejajar.

Riyan beranjak berdiri, melangkah ke arah dapur. Diambil segelas airi putih. Lalu ditegakny sekajap gelas itu kosong. Rasa haus kini telah terobati. Tidak seperti kegelisahan hatinya yang belum menemukan penawar.
Masuk lah Ryan ke kamar, lalu dimatikanlah lampu kamar itu. Semuanya tampak tenang dan dipejamkan matanya. Dengan sebuah harapan bertemu gadis itu di dalam mimpi.

***

“Mas Riyan,” suara halus itu memangil pelan. Rasanya tidak asing mendengar sapaan itu. Begitu renyah terasa di telinga. Lamunan pun lenyap entah ke mana. Matanya menyisir mencari arah suara.  Tak begitu lama, Riiyan pun menemukan seorang gadis manis. Berdiri beberapa meter dari tepat duduknya. Senyum gadis itu masih mengembang tatkala pandangan Riyan tertuju ke sana. Wajah itu begitu menyejukkan, teduh.

“Kuliah, Wi?”balas Riyan yang mencoba tetap tenang
“Ngga, kebetulan aku harus ngurusin acara yang kemarin”, sahut gadis itu pelan sambil melangkahkan  kaki mendekat ke arah Ryan. Anggun, dengan dibalut rok panjang hitam Tiwi, nama gadis itu, tampak sebagai sosok sempurna. Riyan memang sedikit gugup namun pengalamannya  dalam hal seperti ini membuat dirinya kelihatan tenang.

“Semuanya beres, kan?”balas Riyan sambil mencoba mengalihkan pandangan. Sementara gadis itu duduk di dekat Riyan.
“Ya begitulah, Mas,”Jawabnya. Matanya yang indah sempat memandangi wajah Ryan yang waktu itu memang kelihatan layu, kusut karena semalaman Dia harus menyelesaikan pekerjaannya
“Kok loyo, Mas?” lanjut Tiwi “ capek ya?”
“Iya, kemarin aku tidur larut,”  jawab Ryan pelan

Mata Riyan rupanya tak berani bertemu dengan mata gadis itu. Terlalu takut.. Dialihkan kembali pandangannya ke sebuah poster yang tertempel di dinding. Sebuah acara Islami yang diadakan salah satu Badan Otonom di kampus terpampang di sana.
Riyan terus mengeja kata demi kata, sementara mulutnya terlalu sibuk menjawab pertanyaan Tiwi
“Nanti kuliah ga, mas?” Tiwi kembali bertanya
“Ngga, kenapa tho?”
“Ngga, cuma, nanya aja” Jawab gadis itu.

Tiba- tiba dari arah belakang terdengar teriakan keras yang memanggil-manggil nama Riyan. Dipalingkanlah kepalanya Sebuah lambaian tangan dari sesorang mencoba menarik pehatian.
“Yan, cepet ke Sekretariat, sudah ditunggu Arif” Begitu suara yang terdengar di telinganya. Dan rupanya Riyan mengerti dari maksud perkataan itu. Dianggukan kepalanya, tanda setuju.
Arif adalah pimpinan redaksi dari organisasi pers yang diikuti Riyan. Ini berarti Dia harus segera menyerahkan tulisan yang telah diselesaikannya kemarin malam.

“Wi, aku harus ke atas dulu, udah ditunggu teman,” ucap Riyan sebelum meninggalkan Tiwi
“Iya,mas, aku juga ada acara lain”.
Keduanya pun beranjak dari tempat duduk masing-masing. Tiwi langsung menuju ke parkiran. Sedang Riyan berjalan gontai menuju tangga yang akan mengantarkannya ke ruang sekertariat organisasi. Di dalam hati, Riyan terus tersimpan kegundahan yang amat mendalam. Pertentangan antara harapan dan penolakan atas keinginan itu.

***
Sujudnya begitu lama, dan Riyan pun beranjak duduk untuk menyelesaikan tahiyatul terakhir. Begitu khusuknya dia menghadap Tuhan. Sedang jam dinding pun terus berdetak, membawa malam menuju pagi. Dari keramaian menuju sebuah keheningan yang panjang menenangkan jiwa. Hatinya begitu risau memikikan sesuatu yang tak pernah dia mengerti. Rasa itu begitu membuncah, mencuat tak terekendali di dalam hati.
Di salam doa kepada Rob-nya, yang sempat dia bunuh kemarin malam dengan bacaannya, disebutlah sosok gadis itu. Begini doa Ryan kala itu:

“Ya, Rob-ku, Kau lah yang menguasai hati, Yang menentukan segalanya, seluruh jiwa ragaku ini. Dan tentunya kau tahu ya Tuhan, hatiku sedang gundah, gelisah. dia lah penyebabnya. Rasa ini tak bisa berbohong, mendusta kepada nuraniku. Aku menginginkannya, Ya Rob. Bukan untuk sementara tetapi untuk selamanya.”

Sesaat dia terdiam, detak jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana hening kamar nan gelap membuat keadan semakin hikmat. Matanya terpejam dengan tanganya menegadah ke atas. Seolah-olah Rob-nya ada tepat di depannya. Berdiri dan siap memberikan segalanya.
Mulutnya terbuka kembali, kini suara itu terdengar lebih pelan dan tersendat-sendat
“Kenapa mesti sekarang ya Rob, ketika diri ini belum siap, Aku sebenarnya ingin memilikinya, tapi orang-orang di sekitarku belum mengijinkan. Belum siap. Bahkan aku sendiri belum sanggup untuk mulai memilikinya”
“Kenapa tidak nanti saja, Ya Rob, di saat semuanya telah mengijinkan ku, seharusnya kau tunda saja rasa ini, hingga saat yang tepat nanti”
“Aku pun tak sanggup men-zalimi dirinya dengan menjadikannya kekasihku, Dia pun belum tentu mau, Aku tahu dia bisa menjaga hati, tetapi bagaimana dengan aku, ya Rob”
“Aku ingin dia bisa sempurna mejadi milikku tanpa ku-zalimi lebih dahulu, Jagalah hati kami dan satukan kami hingga semua mengijinkan kami menyatu, Ya Robku”
“Aku serahkan urusan ini padaMu, Karena Dirimu lah yang mampu merubah semuanya”

Dia pun beranjak dari tempat melakukan sembahyang. Badannya terhuyung, matanya sudah mulai meredup. Sedang jauh di sana ayam jantan mulai berkokok, menandakan fajar akan segera datang.  Udara dingin pun sudah mulai merasuki hatinya yang sedang panas, bergolak menahan keinginan. Sempat Dia menyalahkan Rob-nya Dan terus bertanya tentang rasa yang diterima.  Namun Rob bukanlah untuk dipersalahkan, tetapi tempat untuk mengembalikan. Bukankah rasa itu dari Tuhannya?

Untuk kesekian kali mata itu dipejamkan. Namun rupanya bayang Tiwi terus menghantui Diubahnya posisi tidur,ditutup wajahnya dengan bantal. Dan sambil terus berharap agar Tiwii hadir di dalam mimpi. Hingga akhirnya terlelaplah Riyan dalam sejuta harapan.
***

Dipacu gas motor itu, melalui jalan yang mulai ramai. Jaket biru yang Dia kenakan rupanya tak mampu menahan terpaan angin yang menerjang dada. Tubuhnya  mulai tak kuat. Napas yang keluar sedikit tersengal walaupun udara pagi itu cukup segar. Sepuluh menit kemudian, Riyan sampai pada belokaan terakhir.

“Sial, aku terlambat”, racaunya pelan sambil melihat jam tangan. Diparkirkanlah motor bebek keluaran tahun 2001 itu. Penuh. Hatinya penuh kegelisahan. Beberapa langkah dari motor, matanya mulai menangkap sosok itu.  Sosok yang meresahkannya. Pagi itu tampak lebih anggun. Dia duduk di tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai 2 kampusnya. Tangga itu memang sedikit lebar, sehingga terkadang banyak mahasiswa yang duduk di sana.

Langkah Riyan diperlambat. Pikirannya memikirkan apa yang harus dikatakan nanti. Merancang skenario atau memilih menghindar agar hatinya bisa sedikit lebih tenang. Diambillah pilihan kedua. Mencari jalan memutar untuk menuju kelasnya. Namun ternyata cara ini gagal. Gadis itu memanggil namanya. Mungkin matanya terlalu menyapu, sehingga tubuh Riyan pun tertangkap.
“Mas Riyan”,  teriak gadis itu

Riyan mencoba tak menghiraukan. Seakan-akan menutup kedua telinganya. Dan untuk kedua kali gadis itu memanggil.  Hati Riyan sudah tak kuat. Dibalikkanlah badan tegapnnya. Gadis itu melambai, menahan senyum. Tangannya mengisyaratkan pannggilan kepada Riyan. Kegelisahan mulai membuncah kembali di hati. Kedua kaki itu melangkah  otomatis menyusuri jalan berkonblok.  Menghampiri sumber suara. Kepalanya tertunduk dan sesekali wajahnya terangkat , menatap rona yang sebenarnya menyejukkan.

Di depan gadis itu, Riyan sempat terdiam. Bingung.
“Ada apa?” Tanya Riyan
“ Ngga…!”, jawab Tiwi.
Gadis itu juga tampak bingung sendiri.  Sesaat mereka saling memandang. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk duduk. Suasana kampus waktu itu memang sudah sepi. Sebagian mahasiswa sudah masuk ke dalam kelas masing-masing, setengah jam yang lalu. Hanya beberapa saja yang masing lalu lalang. Mungkin ada keperluan lain.
“Eh, mau ikut program ke luar negeri itu, ngga mas?” Tiwi memulai pembicaraan
“Yang mana?” Riyan rupanya tak begitu tahu
“Itu, kemarin yang ditawarkan Dian”
“Oh, yang itu, memang kenapa?” Riyan kembali bertanya. Dan kini hatinya mulai tak gelisah. Dia pun sudah terlalu terlambat untuk mengikuti kuliah.
“Aku bawa formulirnya, nih, 2 buah” Jawab Tiwi dengan senyuman
“Ikut ya mas” desak Tiwi.”Aku pengen ikut nih”
“Ya, nanti coba ku pikirkan” Riyan mencoba membuat  tentram.
Tiwi lalu mengeluarkan formulir yang dimaksud dari tasnya. Membagi kepada Riyan dan sedikit menjelaskan.
“Paling lambat lusa lo, jadi cepat, ya”, Ujar Tiwi” Tujuannya ke  Australia dan Singapura”.
“Oh, aku kira ke Timor Timur”, Riyan mencoba memecah suasana. Memunculkan sedikit gelak tawa di antara mereka berdua. Itu pun hanya sedikit saja menurunkan ketegangan hatinya.

Lama mereka bercengkrama. Lama pula Riyan mencoba menelisik kepribadian gadis itu. Begitu nyaman dan tentram bercerita. Tidak ada kecanggungan. Riyan yang tadi sempat tenang, kembali gelisah. Rasa itu mencuat kembali. Mendesak. Bahkan merongrong nalurinya sebagai laki-laki. Dengan sekuat tenaga, raganya tetap menahan. Sementara batinnya terus bergejolak.

Matahari meninggi. Mahasiswa yang lain pun mulai berhamburan dari kelas masing-masing. Jam pertama telah selesai.
“Aku ada kuliah nih, mas” Tiwi mencoba mengakhiri pembicaraan
“Oh, aku juga”ucap Riyan.
“Di ruang berapa?” tanya gadis itu kembali.
“lima” jawab Riyan, sambil tangannya menunjuk ke arah ruangan yang dimaksud. Sedang Tiwi pun mengangguk dan melambaikan tangan, tanda perpisahan.
Mereka sebenarnya satu jurusan, tetapi berbeda angkatan. Riyan lebih dahulu masuk ke kampus yang terletak di dekat gedung rektorat itu.

***
Seminggu pun berlalu. Formulir yang kemarin diberikan Tiwi, tak pernah disentuh oleh Riyan. Dibiarkan tergeletak di meja kamar. Dia memang tidak begitu tertarik pergi ke luar negeri. Entah apa sebabnya.

Sosok Tiwi pun, sudah mulai jarang ditemui di kampus. Sementara Riyan sibuk dengan majalah yang akan diterbitkan. Setiap malam dia harus ke kampus. Membenahi atau sekadar mengedit tulisan-tulisan yang telah masuk. Tiwi memang masih di hatinya. Tetap menjadi sebuah alternatif pertama. Namun kini sedikit terlupakan. Digantikan oleh tanggung jawab lain yang tidak bisa ditinggalkan.

Hingga di suatu siang, Riyan mendapatkan sesuatu.
Saat dirinya hendak menuju ke parkiran. Dia sempat membaca sejumlah pengumuman yang tertempel. Matanya memicing, seolah-olah mencari jawaban. Beberapa pamflet workshop dan pelatihan bertumpuk-tumpuk menempel di papan itu. Ada yang mulai mengelupas, ada yang masih tertahan rapi. Beberapa poster pun memenuhi sisi  yang lain.

Pandangannya sempat tertahan pada sebuah pengumuman. Pengimuman yang terketik dalam kertas folio putih. Di sisi kanan bawahnya terdapat tanda tangan rektor. Menandakan bahwa itu pegumuman resmi. Judul yang bisa terbaca:  Peserta Seleksi yang Lolos dalam Program Studi ke Australia dan Singapura tahun 2006.

Mata Riyan mulai menelusuri kata demi kata. Di sana terpampang beberapa nama. Dia tersenyum kecil, tatkala melihat nama Tiwi, tertera dibaris paling akhir. Pratiwi N. Jurusan Sosiologi, begitu yang bisa terbaca. Yah, gadis itu akhirnya lolos ke Australia. Ini berarti bahwa dia akan meninggalkan Indonesia. Meninggalkan kampusnya dan tentu saja Riyan.

Namun wajah Riyan justru cerah. Sesuatu yang tak lazim  terjadi bagi seseorang yang akan ditinggalkan pujaan hatinya. Setelah puas membaca, kakinya pun dilangkahkan dengan ringan. Seolah-olah tak ada beban yang mengganjal setelah membaca  pengumuman itu. Semuanya akan baik-baik saja, bahkan lebih baik.

***

Dia ingin sekali bertemu dengan Tuhannya. Tuhan yang telah memberikan jawaban atas kegelisahannya.
Malam itu dia kembali tersungkur, bersujud. Kali ini tidak menyalahkan tetapi berterima kasih.
“ Ya, Rob-ku inikah jawaban yang kau berikan. Jawaban yang membuatku tersenyum kembali.”
“Mungkin dia akan Kau bawa pergi untuk sementara waktu ya Rob, tetapi akankah Dia menjadi milikku untuk selamanya kelak”.” Ini rencanamu dan sekali lagi aku hanya bisa berserah kepadaMu”
“Tetapi yang jelas, aku gembira menerima rencanamMu”

Dan suasana malam itu, membuat hatinya semakin tentram dalam tunduknya kepada Illahi.

***