Righteous Kill
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...
Quisque sed felis
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...
Etiam augue pede, molestie eget.
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...
Jika syarat menulis perlombaan ini didasarkan pada pengalaman pribadi seorang ibu, maka saya bukanlah termasuk darinya. Saya remaja laki-laki yang saat ini masih berusia 19 tahun, selain masih tercatat sebagai mahasiswa semester pertama di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, saya memiliki hobi menulis yang kuat. Melalui menulis yang telah menjadi hobi dan bagian hidup inilah saya tuangkan bakat. Dan Alhamdulillah, pada usia 18 tahun saya berhasil menerbitkan buku dengan judul Tuhan, Izinkan Aku Pacaran, yang diterbitkan oleh Gema Insani Press. Sampai saat naskah ini ditulis, buku saya sudah naik cetak ke-2, di usianya yang belum genap tiga bulan. Alhamdulillah. Singkat cerita, buku yang saya tulis memberikan efek dashyat bagi dunia pasca pubertas, padahal saya sendiri tidak terpikirkan sebelumnya. Secara pengakuan para pembaca yang menghubungi penulis, buku tersebut mempunyai empat efek yang tak terduga sebelumnya. Pertama, yang sedang langgeng-langgengnya dengan aktifitas baku syahwat pacaran, diputuskan pacarnya. Kedua, yang sedang pacaran dan baru menikah, dipercepat menikah. Ketiga, yang telah berniat pacaran tapi belum dilaksanakan, dibatalkan niatnya dan merasa bahagia terselamatkan. Keempat, yang sudah nikah semakin bersemangat nikahnya. Dan saya dapati pasar pembacanya tak hanya di lingkup SMP, melainkan SMA, Mahasiswa, pekerja, bahkan sampai yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Alasan membeli bukunya mungkin berbeda-beda. Ada yang memang merasa gue banget dengan judul dan isinya, atau ada pula yang tergoda dengan judulnya yang bernada kontroversi. “Kok minta izin pacaran ama Tuhan?” Begitulah curhatan para pembaca yang menghubungi saya. Nah, pembaca yang satu ini agaknya memberikan aroma berbeda dengan yang lainnya. Sebut saja Laili, seorang ibu dua anak yang masih terlihat jelita. Lima tahun yang lalu, Laili telah menemukan seorang lelaki yang sama saling mencintai. Awalnya mereka saling kenal karena bekerja di sebuah perusahaan Retail ternama di Indonesia. Akhirnya mereka menikah dan sampai saat ini dianugerahkan dua putera yang masih kecil mungil dan lucu. Dulunya sang suami mengambil bagian kerja sebagai staff di salah satu perusahaan. Namun berkat kegigihannya dalam bekerja, ujug-ujug ia diangkat menjadi manager utama di perusahaan ia bekerja. Bahkan sampai saat ini. Sejak saat itu pula, Laili sadar bahwa menjadi manager perusahaan bukanlah hal ringan. Pasti akan banyak ia siapkan waktu untuk suami yang nantinya tidak selalu membersamai sang isteri dan anak. Ya. Pada akhirnya itu memang terjadi. Kesetiaan dalam alur cinta yang dahulu mewarnai kanvas pernikahan Laili, serasa menghilang. Entah kemana. Sesekali ia bergumam bahwa suaminya yang sekarang bukanlah seperti yang dulu ia kenal. Waktu untuk keluarga tak lagi tersisa. Padahal, secara kasat mata, tanpa merasa bertakabbur, ia masih merasa pantas untuk dicintai sang suami. Disamping kesetiaannya yang tak pernah luntur, ibadahnya yang rajin, juga kecantikan yang memang khusus ia azamkan kepada Allah untuk sang suami tercintanya. Selain bernilai sedekah, ia yakin bahwa inilah mencintai kenikmatan yang tak hanya diharap sang suami, namun diridhai Allah, dan para bidadari surga pun `kan mencemburuinya kelak. Laili berpikir, jika seorang wanita berhubungann dengan perasaan-perasaannya melalui pembicaraan dan komunikasi, sebaliknya, melalui tindakan-tindakanlah seorang lelaki berhubungan langsung dengan perasaan-perasaannya. Melalui pengakuan, penerimaan, dan pengharapan terhadap tindakan-tindakan itulah, seorang suami merasa paling dicintai. Laili memahami bahwa memaksa suami untuk bicara dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang masalah dan pekerjaannya yang tak bisa dibilang santai, akan membuatnya merasa semakin tak berharga. Baginya itu bukan dikasihi, tapi dikasihani. Ya. Meskipun dia tahu bahwa maksud hati adalah baik. Namun jika caranya saja sudah salah, maka muara akhir tetap menjadi sebuah kesakitan bagi suami. Caranya? Berikan padanya lebih banyak kesempatan untuk bertindak, berbuat, mengambil keputusan, dan berdiam dalam guanya. Secara alamiah, setelah itu sang suami akan bersikap mendukung dan saat itulah betapa indah baginya jika sebagai isteri menanggapinya dengan cara yang amat sangat hangat dan bersahabat. Namun, ternyata ada yang tak terkondisikan dikemudian hari. Bukan karena kurangnya kasih sayang Laili. Namun sebab itu. Ya. Sebab yang dulunya menjadi kekhawatiran dirinya sebagai isteri dan ibu dari anak-anak, kini terwujud tanpa harap. Betapa agung kasih sayang seorang ayah kepada anak, betapa luhur nilai komunikasi suami terhadap isteri, dan kini semua itu serasa berbeda. Ada yang hilang dan tak ditemukan dalam keseharian Laili sekarang. Tentu ia memahami bahwa sibuk adalah alasan yang tak ada celah baginya untuk mengelak. Sibuk. Sibuk. Sibuk. Dan sibuk. Demi keluarga. Ah, wajarkah ini? Wallahu a`lam. Ia hanya bersikap pasrah dan berharap bahwa ini yang terbaik baginya. Seluruh prasangka positif disuburkannya. “Jarang-jaranglah berkunjung,” kata Rasulullah dalam kitab Mukhtaaral Ahaadits An-Nabawi yang ia ingat, “Niscaya rasa cinta kalian akan bertambah.” Namun ia mengelak lagi, “Apa jadinya kalau tak pernah kunjung-kunjung?” Rasa cinta yang membuncah bila tak jua dicurah akan berakibat fatal. Apalagi urusan perasaan, yang tak semua orang memahami dan memiliki persepsi yang sama. Laili merasa tersiksa dengan kasih sayang yang sewajarnya ia terima dari suami. Begitulah yang selalu ia rasakan. Hingga di sepertiga malam terakhir, Laili tersadar, terjaga dari lunglai mimpinya. Dalam badai resah gelisah, ia memilih menyalakan lampu, melanjutkan mimpi indah yang belum selesai dengan nafas ibadah bersimpuh sajadah. Berbasuh geloran iman menderas. Bersuci dalam sujudnya yang dalam. Agar ia tegar menghadapi masalah ini. Ia curhat kepada Allah atas segala apa yang dirasa. Terutama tentang suaminya yang kian hari serasa tak singgah di hati. Setelah puas dengan semua yang ia curah, fajar mulai menunjukkan tandanya. Itu berarti subuh sudah tiba. Laili shalat shubuh dengan khusyuk, diiringi zikir dan tak henti-hentinya bershalawat. Lalu tanpa sengaja ia menghidupkan radio. Ternyata ada ceramah seorang ustadz yang membuat hatinya sejuk. Sesekali diiringi canda yang membuat ia tertawa. Sedikit melegakkan sesak di dadanya. Laili sangat tertarik dengan ceramah ustadz itu, ia merasa tenang jika suara sang ustadz telah bergelora di hatinya. Sampai-sampai Laili merasa tak ingin berlalu sedikitpun dengan acara itu. Mungkin juga ustadz itu. Laili sering bertanya seputar Islam ketika siaran itu bergema, khususnya yang menyangkut dengan pribadinya yang sulut padam dalam badai cinta keluarga. Hingga pada suatu kesempatan ia meminta nomor handphone sang ustadz. Dan akhirnya saling curhat-curhatan. Ia merasa tenang jika nasehat ustadz telah membilik dalam hati. Ah, ternyata ustadz itupun kagum pada pribadi Laili. Dan Laili pun memiliki rasa yang sama. Hingga akhirnya, ada benih yang tumbuh dalam hati Laili terhadap ustadz. Entah siapa yang menanamnya. Hati Laili terasa adem ayem saat ustadz selalu memberikan ceramahnya. Inilah antagonis ceritanya. Laili sadar bahwa ia telah bersuami. Ia sudah memiliki tempat yang sah untuk mencurahkan haru cintanya pada suami yang halal, dan haram pada selainnya. Namun, siapa yang mampu berbicara jika cinta soal rasa? Sang suami, yang sejak dulu dinanti-nantikan sikap indahnya, ternyata tak jua berubah. Padahal ustadz itu, seseorang yang bukan siapa-siapa dalam statusnya, telah mengambil tempat tersendiri dihatinya. Ia tak tahu apakah ini cinta ataukah hiasan nafsu. Bahkan tak menyadari bahwa inikah yang jawaban dari Allah atau jawaban dari syaithan? Perasaan Laili telah cukup lama bersemi. Ia sedih ketika melihat anak-anak kecil yang seolah dari nuraninya terpancar, “Ibu, ayah mana?” Tentunya akan lebih sedih lagi jika ia berpikir macam-macam; “Apakah suamiku merasa tak betah tinggal di rumah karena aku?” Di saat yang bersamaan pula, Laili merasa bahwa hari-harinya kini terasa indah bersama ustadz itu. Suasana damai pernuh ceria. Saling berbagi kisah kenangan dunia. Hari-hari berjalan terasa indah, meski ada ketersiksaan di dalam dada. Pertemuan itu bagai beban derita dan. Karena perasaan yang bicara. Mendengar suaranya, mendengar nasehatnya. Ah. Laili, bukalah mata hati, bukan mata nafsu. Sesadar sang penyelam bagi Laili, ia menghubungi saya. Ia tahu bahwa saya adalah penulis buku yang mungkin ada hal-hal yang serasi dalam dirinya. Ia utarakan semua yang dialaminya. Dan saya hanya menjawab singkat “Teteh, teteh itu besi. Masa dengan perasaan seperti ini saja sudah dikalahkan. Dan teteh harus tahu bahwa syaithan paling demen menjerumuskan sepasang suami isteri dalam liang perceraian. Caranya banyak. Dan salah satunya seperti yang sedang teteh hadapi ini. Setan sangat berbahagia bila berhasil melakukan misi dahsyatnya itu. Dan apakah teteh mau berteman dengan mereka? Teteh harus hujamkuatkan bahwa keindahan tak halal ini sama sekali bukan datangnya dari Allah, tapi murni dari syaithan. Syaithan bisa masuk dalam diri siapa saja. Termasuk ustadz. Maaf, bukan maksud Fikri menghina. Syaithan memiliki seribu satu cara menggoda siapapun. Dan ia tak pernah putus asa. Seperti saat ia lalai dan terkuasa oleh hawa dan nafsunya. Teteh harus yakin bahwa apapun masalahnya, jika kita lalui dengan syukur dan sabar, maka Allah pasti kan bukakan jalan. Kita tidak tahu apa rencana Allah esok hari untuk kita. Dan yang saya tahu, Allah bersama teteh. Itu saja” Laili yang saya panggil teteh terlinang. Ia sadar. Sadar dari perasaannya terhadap ustadz. Ia mendoakan kepada saya agar kelak memilik isteri shalehah yang tidak berakhlak buruk sepertinya. Ia mulai berbenah diri. Ia tak tahu apa-apa saat itu. Yang ia tahu, Allah bersamanya. Dan tak ada yang mungkin jika Allah telah berkehendak. Ya. Laili tak tahu apa-apa. Yang ia tahu, Allah bersamanya. Hanya Allah. Hingga pada hari itu, saat tiba giliran sang suami berada di rumah setelah sekian hari meninggalkannya. Ia bertekad ingin mengutarakan seluruh unek-uneknya. Ia siap menerima apapun reaksi dari sang suami yang berjiwa melankolis itu. Entah dikata sok ngatur ini itu, atau yang lainnya. Dengan menyebut asma Allah, ia dekatkan sang suami perlahan-lahan, ia dandan secantik mungkin, dan ia jalani misi sambung hati itu. Kata-katanya tajam. Meliuk-liuk keras. Tetapi halus. Seolah tak menyisakan ruang bagi sang suami untuk bertanya dan mengelak. Dan akhirnya, sang suami meneteskan air mata. Ia tak menyangka jika pekerjaannya telah membuat isterinya menderita, khususnya dengan anak-anak yang merasa kehilangan kasih dan sayang dari ayahnya. Laili berharap, semoga ini air mata suaminya adalah tetesan bahagia untuknya. Waktu terus berlalu. Hari silih berganti. Sang suami akhirnya memilih untuk mundur dari staff jabatannya sebagai manajer demi cintanya pada isteri dan anak-anaknya. Suami Laili meminta agar ia ditempatkan di perusahannya yang lama. Walau pun menjadi bawahan. Asal semua tercukupi, urusan selesai. Ia utarakan alasan dengan jujur pada atasan utama, demi cintanya pada keluarga. Ya. Cintanya pada keluarga. Dan akhirnya sang atasan menaruh hormat pada suami Laili. Karena tanpa diduga oleh atasan, ternyata secara diam-diam suami Laili yang terlihat diam tapi gigih itu, memiliki rasa cinta yang dalam pada keluarga. Akhirnya ia ditempatkan di jabatan yang sebelumnya ia duduki, tanpa dikurangi sedikit pun finansialnya sebagai staff manajer, meski telah turun jabatan. Laili bahagia dengan yang terjadi pada suaminya. Itu berarti jam terbang untuk keluarganya akan langgeng seperti dulu. Insya Allah. Ia lekas-lekas mengganti nomor handphonenya yang lama dengan nomor baru. Ya. Laili masih ingat dengan ustadz itu. Ia menutup sekecil-kecilnya pintu-pintu zina yang hampir ia buka, tanpa memberitahukan sedikit pun pada sang suami. Karena ia tak ingin suaminya cemburu. Ia tahu bahwa yang paling berhak menerima jerai-jerai cintanya hanyalah sang suami. Laili bahagia bersama suaminya. Meski sesekali ia tertawa karena merasa lucu dengan sifat bodohnya yang selalu menutup-nutupi masalah dan tak ingin diutarakan pada suaminya, hingga hampir membuka petaka di kemudian hari. --- Ya. Kisah ini memang tak terlalu luar biasa. Namun saya sadar bahwa petaka-petaka dalam rumah tangga seringkali dimulai dari tutup-menutup segala penjuru. Hingga semua dipendam dan kelak akan membusuk dalam hirupan tak terharap. Bahkan tak sedikit perceraian yang dibenihkan dari cerita-cerita macam ini. Seperti kata Al-Quran untuk tidak mendekati zina; bahwa jangankan zina sesungguhnya, mendekatinya pun sudah lebih dahulu dilarang. Apalagi zina beneran? Maka segala sesuatu yang mendekati kepada zina, apapun itu, hukumnya sudah haram. Ya. Apapun itu. Termasuk cara Laili untuk meluapkan perasaan pada yang bukan semestinya ia luapkan. Hingga memberikan peluang syaithan kepada zina. Karena Allah Maha Tahu bahwa zina itu butuh proses bertahap, bahwa langkah pertama pun sudah harus buru-buru kita tutup. Demikianlah. Kepada para isteri, kumohon permaklumanmu. Sesungguhnya laki-laki yang setia dengan kesetiaan sejatinya bukanlah mereka yang tak pernah selalu memanjakanmu untuk selalu ada. Lelaki paling setia pun, Muhammad SAW, mengajarkan kepada kita bahwa setia berarti tahu bagaimana harus mengelola keadaan dengan komunikasi, dan itu hanya dengan menumpahkannya pada jalan yang halal. Juga untukmu wahai suami, sesekali koreksilah kekurangan dengan meluangkan waktu pada sang isteri ketika merasa mulai melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang hendak membukit. Tentu, dari kisah ini kita tersadarkan bahwa di antara semua gairah dalam cinta, perasaan tak tentu mungkin memiliki sinyal tersendiri. Seperti Laili dengan ustadz itu. Ia bagai api, membuat beku saat tiada, menghangatkan ketika tepat pada ukurannya, dan membakar secara meraksasa. Karena dengannya kita menjadi manusiawi. Atau tak menuntut kekasih yang kita cintai menjadi malaikat sejati. Karena yang Laili tahu, Allah bersamanya. Itu saja. Atau mungkinkah kita pernah merasa simalakama; bahwa orang yang sangat kita sayangi berdiri di depan kita untuk melindungi dari suami yang sangat kita tak harapkan dengan sifatnya yang berbeda? Padahal itu suami, seseorang yang sebenarnya berpihak pada kita? Mungkin langka-langka. Tapi Laili, isteri penuh badai dalam gairah cinta itu pernah mengalaminya. Ya. Dalam badai cinta, begitu mudah rasa-rasa syubhat itu terbit di semua ruas. Saya jadi teringat pada kalimatnya Sa`ad bin Zubair, tabi`in mulia yang dicincang oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi itu. “Ambillah ilmu para ulama”, begitu katanya. “Tapi abaikanlah jika mereka saling berbicara tentang ulama lain sesamanya.” Mengapa? “Karena sesungguhnya mereka saling cemburu di antara sejawatnya melebihi cemburunya kepada kambing jantan.” Ya. Tentu tak hanya ulama. Dalam badai cinta pun begitu mudah rasa-rasa seperti itu terbit di segala penjuru. Tapi dari Laili kita belajar tentang badai cinta yang bergairah, bahwa ia adalah sekedar letupan gairah tanpa perlu diusikkan dengan perasaan kita sendiri. Perasaan yang kita anggap suci dari Allah. Padahal tidak. Bahkan hal kecil seperti air mata yang membening, bisa menjadi sebuah gairah yang menggerakkan manusia kepada hidayah. Maka berbahagialah Laili, yang diterpa badai kepada cinta, dan diterpa cinta kepada badai. Karena Laili pun manusia. Seperti Rasulullah, seperti kita, dan seperti saya. Dalam badai cinta, dekap aku lebih erat, sayang! (Tulisan ini diperlombakan dalam lomba menulis Qultum Media yang diadakan oleh situs www.qutlummedia.com) Semoga dapat juara. Amin
Posting Komentar