“Siapa yang disebut orang yang istirahat?” beliau ditanya seseorang.
“Orang beriman bila mati istirahat dari beban dunia, dan kesengsaraan penghuninya, lalu ia berjumpa dengan rahmat Allah Ta’ala. Sedangkan orang yang menjadi beban adalah orang yang menentang Allah Ta’ala, dan apabila ia mati, para hamba dan negara bisa istirahat.”
Ma’mun as-Sulami ra, menegaskan, “Ketika Abdullah bin Muqatil ra, wafat kami turut memandikan, mengkafani, dan menguburnya. Tiba-tiba ada suara lembut dari langit, “Segala puji bagi Allah yang telah menyinambungkan pecinta dengan Kekasihnya, dengan hati rela dan mendapatkan kerelaanNya.”
Santri dari Abu Abdullah mengatakan, “Aku bermimpi bertemu Abu Abdullah setelah wafatnya, dimana ia sedang membakar dupa di syurga. Lalu aku bertanya,
“Hai Abu Abdullah, bukankah ini dilarang bagi kita?”
“Inilah perjalanan pelayan di Darussalam, di hadapan Yang Diraja Semesta..”
Dzun Nuun Al-Mishry ra, dimimpikan setelah beliau wafat, lalu ditanyakan padanya,”Bagaimana kondisimu?”
“Aku mohon pada Allah empat masalah, lalu Allah Swt memberikan dua saja, dan aku sedang menunggu yang dua itu.”
“Apa semua itu?”
“Kukatakan: Ilahi, bila Engkau mengambil ruhku jangan Engkau pasrahkan pada Malaikat maut. Ilahi Engkau bertanya padaku, jangan Engkau serahkan pada malaikat Mungkar dan Nakir. Dan jika Engkau merendahkan aku jangan Engkau serahkan pada Malaikat Malik. Dan bila Engkau memuliakan aku janganlah Engkau serahkan pada Malaikat Ridhwan.”
Dikisahkan bahwa Dawud al-‘Ujly ra, ketika mati ia dibawa ke kuburnya. Tiba-tiba ia menyemburkan aroma wangi. Lalu tukang kuburnya mengambilnya sebagai minyak aroma wewangian. Sedangkan orang-orang sangat takjub melihatnya. Selama tujuh puluh hari, tetap saja bau wangi. Lalu penguasa wilayah itu berusaha mengambilnya dari orang tersebut, tiba-tiba hilang begitu saja entah kemana sirnanya.
Ammar bin Ibrahim ra mengatakan, “Aku bermimpi melihat perempuan miskin setelah kematiannya. Wanita ini sangat senang dengan majlis dzikir, kusapa ia. “Selamat datang wahai wanita miskin…”
“Jauh sekali wahai Ammar. Wanita miskin sudah pergi, dan datanglah si kaya raya,” jawabnya.
“Kemarilah…” kataku.
“Apa yang kau minta pada orang yang diberi kewenangan syurga dan segala isinya?” katanya.
“Dengan apa?” tanyaku.
“Dengan majlis-majlis dzikir.”
“Lalu apa yang dianugerahkan Allah Ta’ala pada Ali bin Zadan?”
Ia malah tertawa, dan berujar, “Allah memberinya pakaian yang sangat kharismatik, dan dikatakan padanya, “Hai qori’, bacalah, dan naiklah!”.
Ibnu Abil Hiwary ra, mengatakan, “Aku bermimpi bertemu Al-Washily, seakan ia berdiri di angkasa, padahal seluruh langit penuh dengan cahayanya, lalu aku bertanya, “Apa yang diberikan Allah Ta’ala padamu?”
“Sebaik-sebaik Tuhan adalah Tuhan kami. Dia mengampuni kami dan memuliakan kami, dan kami dijadikan sebagai keluargaNya.”
“Kalau begitu beri aku wasiat,” kataku.
“Hendaknya engkau tetap di majlis orang-orang yang berdzikir, sebab mereka menurut kami berada di derajat yang luhur.”
Saat Mu’adz ra, mendekati maut, ia pingsan, lalu sadar, kemudian berkata, “Temukan aku dengan orang-orang yang telah diberi nikmat Allah Ta’ala dari kalangan Nabi, Shiddiqin dan syuhada’,…” Lalu ia tersenyum dan berucap “Laailaaha Illalloh Muhammadurrosulullah.Alhamdulillah.” Lalu beliau wafat.
Ja’far adh-Dhobby ra mengatakan, “Aku menghadiri ziarah kubur Malik bin Dinar ra, lalu aku berkata dalam benakku, “Apa ya, yang dianugerahkan Allah pada Malik?”
Lalu kudengar suara dari atas Malik, “Malik selamat dari kehancuran, selamat dari buruknya penempuhan Jalan, dan ia telah berada di rumah kebahagiaan, bertetangga dengan Tuhan Maha Pengampun..”
“Alhamdulillah…” kataku.
Ibnu Bikar mengisahkan, “Suatu hari aku sedang sholat di Mashishoh (nama sebuah kota). Ketika imam salam, seseorang tiba-tiba berdiri dan berkata, “Wahai manusia, aku adalah seorang ahli syurga, dan aku telah mati hari ini. Kalau ada yang butuh, datanglah kemari..”
Ketika kami sholat ashar, orang tersebut meninggal.
Harits bin Umar ath-Tha’i ra sedang sakit di Arminia. Suatu hari ia menghadap kiblat dan sholat dua rekaat, lalu ia berkata di akhir sujudnya, “Ya Allah! Aku memohon dengan NamaMu yang dengannya menjadi pengokoh agama, dan dengan NamaMu yang dengannya alam semesta mendapatkan rizki, dan dengan namaMu Engkau hidupkan tulang-tulang yang remuk. Bila ada kebaikan padaku di sisiMu, segerakan matiku.”
Lalu ia terdiam, dan orang-orang menggerak-gerakkannya, ternyata ia sudah mati.
Seseorang pernah melihat Malik bin Dinar ra, seakan-akan ia ada di istana di cakrawala, yang tidak bias digambarkan keindahannya. “Apa yang dianugerahkan Allah Ta’ala padamu hai Malik?” tanya seseorang.
Ia menjawab, “Tuhanku menempatkan aku di istana ini –seperti kau lihat– dan Dia memperkenankan diriku untuk memandangNya manakala aku rindu padaNya, tanpa bagaimana atau tanpa padanan. Walhamdulillaahi robbil ‘alamin.”
Ketika guruku Syeikh Manshur ra, hendak wafat, kami menangis di dekatnya. Lalu beliau siuman dari pingsannya, dan berkata:|
“Kematian pecinta adalah kehidupan tiada putus-putusnya
Suatu kaum mati, namun mereka hidup di tengah manusia.”
Lalu beliau berucap, “Asyhadu al-Laailaaha Illalloh, wa-Asyhadu Anna Muhammadar-Rasulullah, Shollallaahu ‘alaihi wa-Alihi wasallam.” Lalu takdir menjemputnya dan ruhnya yang suci membubung ke hadhirat Ilahi Sang Pencipta.
Semoga Allah memberkahi Al-Qutub Agung Sayyid Ahmad Rifa’y dan keluarga tercintanya dan seluruh muslimin. Salam semoga kepada para Rasul. Walhamdulillahi Rabbil’alamin.
Posting Komentar