Tetapi bagaimanapun, seperti kata Imam Ahmad, jika seorang pemuda tak berkeinginan untuk segera menikah, hanya ada dua kemungkinannya. Diragukan, atau banyak banyak bermaksiat. Ada yang bersikukuh menunggu usia 25 tahun. Sunnah Rasul katanya. Padahal Muhammad jadi Rasul di usia empat puluh tahun, bukan sebelum dua puluh lima. Mungkin lebih tepat sunnah Muhammad namanya. Dan sunnah Rasul tentunya berbunyi,
Wahai sekalian pemuda, siapapun di antara kalian yang berkemampuan dalam ba`ah, maka hendaklah ia menikah. Sungguh ia, lebih tunduk bagi pandangan dan lebih suci bagi kemaluan. Dan barangsiapa belum berkemampuan, maka hendaklah ia berpuasa. Sungguh puasa itu benteng baginya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Nah, kita sudah lihat hadis di atas bukan? Apakah di sana ada patokan umur tertentu dimana kita harus menikah di umur tersebut? Ah. Sama. Saya juga menjawab dengan jawaban yang sama. Tidak ada. Yang ada hanyalah ba`ah. Memang begitulah kita memaknai “usia pernikahan kita”. Tetapi memang, bagi siapapun yang belum memiliki kemampuan, berarti ia termasuk dalam katagori pengecualian. Dan mungkin pengecualian itu sedikit. Apakah anda dan saya termasuk yang dikecualikan? Entahlah.
Mayoritas ulama menafsirkan ba`ah yang dimaksud Rasulullah dalam hadis tersebut sebagai kecenderungan atau kemampuan untuk melakukan hubungan biologis. Itu artinya, jika kita telah mampu melakukan ba`ah, maka tuntunan menikah telah hadir saat itu juga.
Jika dikatakan sedikit, maka Ali Ra menikah di usia 18, Usamah bin Zaid 16 tahun, lantas, berapa tahun lagi kita harus menunggu menikah?
Seingat saya, sejak duduk di bangku SMA saya pernah memikirkan untuk menikah muda. Yah, dua puluh tahunan-lah kira-kira. Misinya memang sudah saya rumuskan ketika duduk di bangku SMA kelas 3. Tapi saya baru memikirkannya sekarang. Begini kira-kira, masih SMA saya nulis buku. Semester satu di perkuliahan nulis buku lagi. Semester dua, jadikan buku tulisan saya best seller. Semester tiga berinvestasi dan punya perusahaan sendiri-sendiri. (Yang ini baru terrealisasi lewat travel pesawat kecil-kecilan). Semester empat? Nikah deh.
Ya. Hanya mimpi SMA saja. Itu artinya, jika memang Allah tidak menghendak demikian, berarti itulah yang terbaik. Semoga saja saya termasuk yang dikecualikan.
Eh… Jadi kapan menikahnya? Wallahu a`lam. Yang jelas, saya tidak ingin mencari. Siapa tahu ada yang orang tua yang nawarin. Atau ada seorang gadis yang berani mengungkapkan rasa cintanya pada saya. GR? Saya rasa tidak.
Sebab, saya berusaha membedakan antara istilah nikah terburu-buru dan nikah dini. Orang yang menikah di usia 20 tahun, jika persiapannya telah dimulai sejak usia 15 tahun, itu tidak dinamakan terburu-buru. Lain halnya jika ada seorang yang menikah di usia 30 tahun, tapi persiapannya dimulai sejak umur 29.5, itu terburu-buru/tergesa-gesa namanya.
Lha, bagaimana dengan Anda?
Untuk kita kaum adam, waspadalah grafik yang kuadratis, lalu berbalik linear tegak di angka 40 tahun. Brughh…! ini adalah gambaran pertimbangan menikah kita. Semakin bertambah usia, kita akan menjadi lebih dewasa. Maaf, dewasa yang saya maksud di sini bukan makna dewasa dalam arti sebenarnya. Maksud saya, mungkin suatu saat kita akan menjadi lebih kritis-rasionalis dalam memandang segala sesuatu. Tidak lagi emosional. Tidak ada lagi kata nekat untuk menikah, karena kata cinta pun terrasionalisasi-kan oleh nalar matang-matang.
Hasilnya? Mungkin pertimbangan menikah kita akan menjadi semakin pelik dan rumit. Segalanya diukur dan ditakar dengan sangat MATANG. Kalau seorang wanita – calon isteri – berdasarkan riset saya dari buku bacaan dan diskusi langsung dengan pihak yang terlibat, mereka akan berkecendrungan begini, dianaslisis nanti dan hasilnya pasti akan begitu. Kalau sifatnya begitu, nanti pasti akan begini. Nah, khawatir saya yang berperan di sini adalah zhan (prasangka), sesuatu yang oleh Allah pun disebut tidak memberi manfaat bagi kebenaran, dan mudah diambil alih kendalinya oleh syaithan.
Bingung? Maksudnya begini. Semakin bertambah usia kita, kita akan semakin perfeksionis tentang kriteria calon pendamping kita. Kita kembalikan pembicaraan ini kepada kaum adam, saya mendapati sekian banyak kasus yang menunjukkan hal ini. Beberpa laki-laki yang diproses ke arah pernikahan pada usia 28, 29, 30, 31 dan sekitar itu menunjukkan gejala unik. Begitu mengetahui sedikit kekurangan pada calon yang diajukan, - sebenarnya bukan kekurangan tapi ketidaksesuaian dengan apa yang diharapkan - , maka akan meluncur kata-kata “Maaf. Kelihatannya saya belum bisa melanjutkan proses ini, ada beberapa hal yang masih mengganjal…dst.” Atau ya semacan itulah.
Justru saya berpikir di usia-usia itu bagi kaum laki-laki bukanlah bagaimana kita memikirkan menikah dengan siapa, akan tetap memikirkan bagaimana mendidik anak kita agar menjadi lebih baik. sebab usia-usia itu paling rewel bagi seorang laki-laki untuk menikah. Antara yang bertarbiyyah dengan yang tidak sama sekali tidak ada bedanya.
Terus, gimana dong? Ambil sendiri kesimpulannya.
Ah, ini hanya sedikit ceritaku, bagaimana ceritamu? Hehe…
Posting Komentar