Sufi, Beribadah Dengan Menari-Nari (?!)
Masyarakat umumnya memandang persoalan menari berhubungan dengan seni dan budaya. Berbeda dengan kalangan Sufi, mereka memastikan ada ritual tertentu – di luar ibadah yang disyariatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang berfungsi sebagai amalan sholeh layaknya ibadah-ibadah yang lain. Belakangan tidak asing lagi dipertontonkan, aksi berdzikir (beribadah) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui cara berputar-putar secara teratur dengan kecepatan yang kian bertambah kencang, yang dikenal dengan sebutan Whirling Dervishes (darwis-darwis yang berputar) atau Tarian Sema (Arab:samâ’). Pada akhirnya, menurut mereka, para penari akan mengalami keadaan ekstase (fana’), melebur bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala (?!)Atribut mereka, mengenakan topi yang memanjang ke atas, jubah hitam besar, baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok, serta tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram bahu. Demikian gambaran global tarian spritual sama’ ini.
KEUTAMAAN DAN KEDUDUKAN TARIAN SEMA DALAM PANDANGAN KAUM SUFI
Sebagai pihak satu-satunya yang melegalkan praktek tersebut[1], mereka menguatkannya dengan menyebutkan fadhilah (keutamaan) amalan tersebut. Diantaranya :
- Meyakini bahwa pelakunya mendapat pahala sebagaimana orang-orang yang berbuat amal sholeh.
- Meyakini bahwa menari salah satu faktor efektif untuk menggerakan keimanan dan amalan hati, seperti khauf, khasy-yah, mahabbah, roja, sehingga tidak boleh dikatakan sebagai tindakan main-main.
- Meyakininya sebagai faktor yang mendatangkan rahmat.
- Menyatakan itu dianjurkan dalam syariat
- Menyatakan bahwa seorang Muslim harus melakukannya untuk menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.
APAKAH BENAR DISYARIATKAN ?
Kaedah menyatakan pada asalnya hukum ibadah adalah haram kecuali yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Maka, tidak diragukan lagi bila hukum tarian spritual yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut tidak boleh (haram). Berikut beberapa dalil pengharamannya :
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau (QS. al-An’am/6:70).
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela kaum musyirikin yang menjadikan acara permainan sebagai ajaran agama. Demikian juga para penganut ajaran Sufi, celaan pada ayat juga mengenai mereka karena menjadikan tarian-yang jelas merupakan salah satu bentuk acara main-main dan melalaikan sebagai ajaran agama untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ? (QS. asy-Syura/42:21).
Ayat ini mengharamkan tarian Sufi karena menari dalam rangka beribadah tidak pernah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak diperkenankan untuk dijadikan sebagai sarana beragama dan beribadah, maka menjadikannya sebagai acara agama dan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Sufi menunjukkan pensyariatan sesuatu yang bukan berasal dari Allah, dan ini tidak boleh.
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (QS. az-Zumar/39:23)[2]
Ayat ini juga membantah tarian-tarian ibadah ala Sufi, sebab telah menjelaskan kondisi kaum Mukminin saat mendengarkan dan menyimak dzikir yang masyru (yang disyariatkan). Kondisi kaum Mukminin yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang takut kepada hukuman-Nya, ketika mendengarkan firman-Nya, janji dan ancaman-Nya, hati mereka melunak, air mata bertetesan, kulit gemetar, tampak khusyu’ dan penuh ketenangan. Tidak seperti yang dilakukan orang-orang Sufi dengan bergerak-gerak menari-nari dengan ritme tertentu. Maka kita katakan kepada mereka ini, “Kondisimu tidak akan pernah menyamai kondisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kondisi para Sahabat radhiyallahu ‘anhuma dalam hal ma’rifatullah, khauf dan ta’zhim (pengagungan) terhadap kebesaran-Nya. Meskipun demikian kondisi mereka saat mendengarkan mauizhah ialah memahaminya dan menangis karena takut kepada-Nya. Siapa saja yang kondisinya tidak seperti ini berarti bukan di atas petunjuk mereka dan tidak di atas jalan mereka”.[3]
4. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan di dalam neraka (HR. an-Nasai 3/210).
Karena tarian yang ditujukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak pernah ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhuma, berarti merupakan barang baru dan setiap ibadah yang tidak dikenal di zaman beliau maka termasuk bid’ah yang diharamkan.
Al-Ghozali rahimahullah menyanggah penggunaan dalil ini untuk mengharamkan tarian yang ia dukung itu. Katanya, “Tidak setiap yang dihukumi boleh (harus) ada riwayat dari Sahabat radhiyallahu ‘anhuma. Yang terlarang hanyalah melakukan bid’ah yang bertentangan dengan petunjuk Nabi yang sudah ada. Sementara itu, tidak ada riwayat yang melarang ini semua (tarian gama)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah meluruskan pernyataan di atas dengan berkata, “Sesungguhnya mempertahankan keumuman perkataan Nabi” setiap bid’ah adalah sesat” itu harus dan wajib mengamalkan keumuman maknanya. Barang siapa mengklasifikasikan bid’ah menjadi (bid’ah) baik dan jelek dan menjadikannya (klasifikasi tersebut) sebagai alasan untuk tidak melarang adanya bid’ah sungguh ia telah keliru. Sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan mutafaqqihah (kaum kurang ilmu), ahlul kalam dan kaum Sufi serta ahli ibadah (yang tidak mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Jika mereka dilarang dari ibadah-ibadah dan praktek beragama yang baru (diada-adakan), mereka berkilah bahwa tidak ada bid’ah yang diharamkan kecuali yang dilarang”…”setiap yang diharamkan” atau “setiap yang menyelisihi nash Nabi maka merupakan dholalah (kesesatan)”. (Kesalahan) ini terlalu jelas untuk dijelaskan lagi. Karena setiap yang tidak disyariatkan dalam agama adalah sesat”.
5. Ijma Ulama
Umat Islam telah sepakat bahwa tarian Sufi adalah bidah dan hukumnya dilarang. Sejumlah ulama telah menegaskannya, semisal Ibnu Taimiyah rahimahullah, Abu Bakar ath-Tharthusi rahimahullah, Taqiyyuddin as-Subki rahimahullah, Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah, Abu Abdillah al-Qurthubi rahimahullah, Ibnu Katsir rahimahullah, Ibrahim bin Muhammad al Hariafi rahimahullah.[4]
Sesungguhnya menari (tarian) petunjuk kurang akalnya orang yang melakukannya, sebagaimana dikatakan Imam Malik bin Anas rahimahullah. Islam datang untuk menyempurnakan perilaku bani Adam dan melarang mereka dari perkara-perkara yang mengurangi akal mereka.
Syariat Islam tidak menyinggung tarian, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Hal itu juga belum pernah dilakukan oleh satu nabi pun dan satu tokoh dari para pengikut nabi. Karena mereka belum melakukannya, itu menunjukan tarian Sema tidak mengandung satu kebaikan pun. Seandainya itu baik, sudah tentu para sahabat akan berlomba untuk melakukannya.
Tarian Sufi berisi sejumlah keburukan seperti hilangnya muru’ah (kewibawaan), tasyabuh (menyerupai) dengan wanita dan anak-anak kecil, menyerupai binatang-binatang dan menyerupai penganut Nasrani yang menjadikan tarian sebagai bagian dari agama mereka, mencampuradukkan antara maksiat dengan ibadah. Ditambah lagi, tarian Sema kerap diiringi dengan musik baik berupa genderang atau alat musik lainnya yang sebenarnya melalaikan hati.
PENUTUP
Itulah gambaran ‘ibadah’ baru produk kaum Sufi. Hakekatnya, justru akan menjauhkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pengagungan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti petunjuknya dalam ibadah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam Khutbah Hajah. Wallahu a’lam. []
REFERENSI
- Hukmu Mumarasatil Fanni fisy Syari’atil Islamiyyah Shaleh bin Ahmad al-Ghozali.
- Waqofati ma’a Kitabi Ihya ‘Ulumiddin, Sa’ad al-Hushayyin.
Sumber: Majalah As-Sunnah edisi: 01/thn XV/Jumadil Akhir 1432H/2011M
Posting Komentar